AS dan Aliansi NATO dalam "War on Terror"



AS dan Aliansi NATO dalam "War on Terror"
        Kedekatan hubungan AS dan Eropa sudah terjalin sejak lama terutama pasca Perang Dunia II.  North Atlantic Treaty Organization (NATO) merupakan sebuah organisasi pakta pertahanan yang dibentuk pada era perang dingin untuk membendung kekuatan Pakta Warsawa yang didirikan oleh Uni Soviet dan mencakup wilayah Eropa Timur. Perang Dingin usai pada saat runtuhnya Uni Soviet yang selanjutnya bubarnya Pakta Warsawa pada tanggal 31 Maret 1991. Setelah perang dingin, terjadi perluasan wilayah NATO yang meliputi sebagian besar wilayah Eropa Timur yang berarti bahwa wilayah cakupan NATO tidak lagi hanya sebatas wilayah atlantik utara saja
        Keberadaan NATO pada era perang dingin sebagai “Defender of Europe” menjadi tidak relevan lagi setelah berakhirnya perang dingin karena musuh yang jelas dan signifikan yang akan mengancam Eropa Barat dan Amerika Utara sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, NATO harus bertransformasi jika ingin tetap eksis dan mempertahankan aliansinya. Invasi NATO di Afganistan merupakan aksi awal dalam implementasi “War on Terror” yang dicetuskan oleh Amerika Serikat sekaligus sebagai tes awal bagi aliansi transatlantik atau “wajah baru” NATO untuk menguji loyalitas para anggota baru terhadap NATO pasca serangan teror 9/11, mengingat bahwa anggota NATO saat ini meliputi Negara Blok Timur pada era perang dingin, baik dalam  hal kemampuan militer maupun dalam hal politik.
        Berbeda dengan serangan  ke Afghanistan, serangan  ke Irak mendapatkan banyak berbagai penolakan dan penentangan. Penentangan tersebut bukan saja berasal dari luar NATO, namun juga berasal dari dalam negara anggota NATO sendiri. Prancis dan Jerman menolak mengirimkan tentaranya untuk bertempur di Irak. Bersama Jerman dan Perancis,  Belgia ikut memblokir dukungan militer NATO bagi Turki saat invasi AS ke Irak 2003 lalu. Sikap keras tiga negara Eropa ini menimbulkan krisis diplomatik sangat serius dengan AS, bahkan paling serius sejak krisis pasca Perang Dingin.
        Bush telah "membagi" dunia menjadi good vs  evil dan meminta negara-negara di dunia untuk memilih apakah "you're with us or against us". Dalam pidato  State of the Union” bulan Februari 2003, Bush mengatakan bahwa "the liberty we prize is not America's gift to the world, it is God's gift to humanity". Di lain kesempatan setelah serangan teroris, Bush juga mengatakan "this crusade, this war on terrorism, is going to take a while". Banyak yang menghubungkan pernyataan semacam ini dengan Perang Salib antara Islam dan Kristen, dan karena itu sulit membayangkan ada kepala negara atau pemerintahan yang berani untuk menyatakan hal yang serupa.
        Pertaruhan masa depan kerjasama transatlantic mengalami ujian berat. Perang Irak menyebabkan perubahan sikap Masyarakat Eropa terhadap AS. Di tahun 2002, jumlah Masyarakat Eropa yang pro AS adalah 75% (Inggris), 63% (Perancis), dan 61% (Jerman).  Namun hanya setahun kemudian di 2003 terjadi perubahan sikap yang drastis sebelum terjadinya Perang Irak. Banyak demo menentang perang, yang menariknya, justru terjadi di Inggris, Spanyol dan Italia, tiga negara yang memberi dukungan kuat pada AS.  Jajak pendapat yang dilakukan oleh Institut Forsa di Jerman menunjukkan 90% orang Jerman dan Perancis menentang AS. Pew Research Center menemukan bahwa di Inggris jumlah masyarakat yang pro AS menurun dari 75% ke 48%, di Polandia turun dari 80% ke 50%.  Di seluruh Eropa, hanya di Inggris yang jumlah masyarakat pro AS mencapai di atas 40%. Bahkan di Timur Tengah, tidak ada yang mencapai 10%.
        Runtuhnya komunisme dan respon AS terhadap peristiwa 9/11 mempunyai dampak besar terhadap hubungan transatlantik. Sejalan dengan semakin majunya integrasi UE (mata uang tunggal, enlargement), UE mau tidak mau mempunyai tanggungjawab yang semakin besar pula terhadap keamanan di "lingkungannya". AS secara umum mendukung peran UE yang semakin menonjol di kawasan, dengan tetap menekankan pentingnya NATO. Namun demikian pada saat yang sama muncul kerenggangan antara AS dan UE mengenai persepsi AS tentang moral leadership-nya, dan persepsi UE tentang AS yang dinilai military-minded dan terobsesi dengan rogue states dan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction - WMD).
        Perang Irak berbeda dengan di Afghanistan, War on Terror yang di dengungkan AS memang telah mendapat dukungan luas. Namun serangan ke Irak terlihat kurang mendapatkan dukungan. Kepemilikan senjata pemusnah massal dan keterlibatan rezim Saddam dengan Al-Qaeda dijadikan alasan invasi tersebut, namun bukti tak kunjung ditemukan untuk membuktikan kebenaran secara kuat. AS bukan saja menjatuhkankan rezim Saddam, tetapi juga bertanggung jawab terhadap masa depan Irak. AS bertanggung jawab untuk turut membantu membentuk pemerintahan yang stabil dan demokratis pasca tumbangnya Saddam Hussein.
       Hingga kini aliansi AS dan Eropa dalam kerjasama pertahanan dan keamanan tetap terjalin, meskipun hubungan tersebut juga kerap kali diwarnai dengan berbagai perbedaan persepsi dan pertentangan kebijakan di antara keduanya. Perang terhadap terorisme menjadi ujian atas soliditas kedua pihak. Dan begitu juga saat terjadinya Arab Spring yang bergulir di berbagai negara-negara Arab.

Sumber : 
  •          Michael Roskin dan Nicholas Berry,  IR: An Introduction to International Relations (New Jersey: Prentice Hall, 1990)

2 komentar: